-->

Koneksi Antar Materi Modul 3.1

Tujuan Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah  menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.

Dalam proses menuntun, anak diberi kebebasan, namun pendidik sebagai pamong dalam memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya serta dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Pendidikan sejatinya melihat kodrat diri anak dengan selalu berhubungan dengan kodrat zaman.

Bila melihat dari kodrat zaman saat ini, pendidikan global menekankan pada kemampuan anak untuk memiliki keterampilan abad 21. Namun pengaruh dari luar harus tetap disaring dengan tetap mengutamakan kearifan lokal budaya Indonesia. Oleh sebab itu, muatan atau konten pengetahuan yang diadopsi sejatinya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebajikan. 

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi  yang semakin pesat tentunya membawa pengaruh  pada perilaku manusia. Kemajuan ini sangat berdampak pada komunikasi interpersonal karena kecenderungan melakukan komunikasi melalui gadget atau smartphone yang teraplikasi dengan berbagai situs jejaring sosial, seperti  Instagram, Facebook, Email, Whatsapp, Line, Youtube, dan Tiktok. Selain itu, adanya aplikasi game online juga sangat menarik perhatian anak-anak zaman sekarang. Hal ini tentunya memberikan pengaruh terhadap perilaku moral anak dalam keluarga.

Alat informasi dan komunikasi seperti smartphone, laptop, notebook, chromebook, telegram, wifi, dan sebagainya juga sudah tidak asing lagi ditengah-tengah masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, tentu saja hal-hal tersebut berdampak positif karena sangat membantu dan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses banyak hal.Tak terkecuali bagi anak-anak dan remaja di Indonesia yang berada di usia sekolah. Terlebih lagi , ketika pandemic Covid-19 melanda tanah air sehingga pembelajaran yang selama ini dilaksanakan tatap muka beralih ke pembelajaran daring. 

Selain berdampak positif, penggunaan Gadget dikalangan usia sekolah tentu saja dapat membawa dampak negatif.  Media sosial yang semakin beragam dan gadget yang semakin mudah dijangkau dan tidak dibarengi dengan pendidikan nilai-nilai luhur, teladan serta pantauan dari orang sekitar dapat memperparah kondisi generasi penerus bangsa, khususnya pelajar. Pada media sosial sering kali dijumpai perilaku dan kata-kata yang tidak sesuai dengan nilai etika dan moral. 

Situasi diatas mengakibatkan timbulnya berbagai persoalan pembelajaran baik pada diri murid, maupun guru. Tidak jarang guru dihadapkan pada masalah-masalah yang mengandung unsur dilema etika dan bujukan moral. Maka dari itu, peran pendidik dalam menghadapi era globalisasi tidaklah mudah, banyak tantangan yang harus dihadapi pendidik dalam menghadapi peserta didiknya.

Sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi dan meluasnya pengaruh globalisasi, pendidik senantiasa dituntut dapat mengimbangi perkembangan sains dan teknologi yang terus berkembang. Seorang pendidik diharapkan mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi global dan memiliki karakter profil pelajar pancasila serta siap menghadapi tantangan hidup di masyarakat dengan tangguh (resiliensi) dan penuh percaya diri.

Dalam hal ini, pendidik dapat menggunakan sistem among terkait pembentukan karakter profil pelajar pancasila bagi muridnya. Integrasi pratap triloka yang merupakan filosopi pendidikan KHD atau yang juga dikenal dengan trilogi pendidikan KHD tentunya merupakan hal yang sangat penting dalam pengambilan keputusan bagi guru sebagai pemimpin pembelajaran. Pertama, Ing Ngarso Sung Tulodo berarti guru berkewajiban untuk memberikan suri tauladan dalam bertindak dan berperilaku.

Kedua, Ing  Madya Mangun Karso berarti guru harus bisa menuntun dan menyemangati siswa untuk terus berprestasi. Ketiga, Tut Wuri Handayani berarti guru harus memberikan dorongan  yang  dapat memotivasi siswa dan menuntun dalam membuat keputusan.

Inilah fungsi seorang guru sebagai  inspirator, motivator dan coach. Seorang guru harus mampu mendorong kinerja murid untuk terus berkembang dan maju serta mampu mengambil keputusan-keputusan yang tepat terhadap permasalahan terkait pembelajaran maupun diluar konteks pembelajaran. 

Dari pengalaman kita bekerja pada institusi pendidikan, kita telah mengetahui bahwa dilema etika adalah hal berat yang harus dihadapi dari masa ke masa. Ketika menghadapi situasi dilema etika, akan ada nilai-nilai kebajikan yang saling bertentangan. Secara umum ada pola, model atau paradigma yang terjadi pada situasi dilema etika yaitu :

Individu lawan masyarakat ( Individual vs Community). 

Dalam paradigma ini ada pertentangan antara individu yang berdiri sendiri melawan sebuah kelompok yang lebih besar dimana individu ini juga menjadi bagiannya. Bisa juga konflik antara kepentingan pribadi melawan kepentingan orang lain.

Rasa Keadilan vs rasa kasihan ( Justice vs Mercy)

Dalam Paradigma ini ada pilihan antara mengikuti aturan tertulis atau tidak mengikuti aturan sepenuhnya. Pilihan yang ada adalah memilih antara keadilan dan perlakuan yang sama bagi semua orang disatu sisi, dan membuat pengecualian karena kemurahan hati dan kasih sayang.

Kebenaran lawan kesetiaan ( Truth vs Loyalty)

Kejujuran dan kesetiaan seringkali menjadi nilai-nilai yang bertentangan dalam situasi dilema etika. Kadang kita perlu untuk membuat pilihan antara berlaku jujur dan berlaku setia  kepada orang lain. Apakah kita akan jujur menyampaikan informasi berdasarkan fakta atau kita menjunjung nilai kesetiaan pada profesi, kelompok tertentu, atau komitmen yang telah dibuat sebelumnya.

Jangka pendek lawan jangka panjang (Short Term vs Long Term)

Paradigma ini paling sering terjadi dan mudah diamati. Kadang perlu untuk memilih antara yang kelihatannya terbaik untuk saat ini dan yang terbaik untuk masa yang akan datang.

Terkait pengambilan suatu keputusan, maka setiap keputusan yang diambil akan ada konsekuensi yang mengikutinya, dan oleh sebab itu setiap keputusan perlu berdasarkan pada rasa tanggungjawab, nilai-nilai kebajikan universal dan berpihak pada murid.

Untuk menghasilkan keputusan yang tepat dan efektif, maka seorang guru juga harus mampu mengelola dan menyadari aspek emosionalnya. Salah satunya adalah melalui  pembelajaran sosial emosional (PSE). Pembelajaran ini berisi keterampilan yang dibutuhkan peserta didik untuk dapat bertahan dalam masalah sekaligus kemampuan untuk memecahkannya, juga untuk mengajarkan mereka ,menjadi orang yang berkarakter baik.

Pembelajaran ini dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah berbasis kesadaran penuh secara terhubung, terkoordinasi , aktif, fokus, dan eksplisit dengan harapan dapat mewujudkan well being ekosistem sekolah.

Well Being adalah sebuah kondisi individu yang memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat memenuhi kebutuhan dirinya dengan menciptakan dan mengelola lingkungan dengan baik, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih bermakna serta berusaha  mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya. PSE berbasis kesadaran penuh (mindfulness) relevan untuk dapat mewujudkan well being, khususnya melatih daya lenting (resiliensi) pendidik, peserta didik dan komunitas sekolah.

Selain mengintegrasikan PSE disetiap permasalahan yang mengandung unsur dilema etika , ada 3 prinsip yang dapat membantu dalam menghadapi pilihan-pilihan yang penuh tantangan dan harus dihadapi yaitu :

Berpikir berbasis hasil akhir ( Ends-Based thingking)

Memutuskan sesuatu berdasarkan pemikiran ”  menghasilkan kebaikan terbesar  untuk jumlah orang terbanyak”.

Berpikir berbasis peraturan (Rule-Based Thingking) 

Memutuskan sesuatu berdasarkan pemikiran “ mengikuti prinsip atau aturan-aturan yang telah  ditetapkan”.

Berpikir berbasis rasa peduli (Care- Based Thingking)

Memutuskan sesuatu berdasarkan pemikiran ” apa yang kita harapkan orang lain juga lakukan terhadap kita”.

Sebagai panduan dalam mengambil keputusan dan menguji keputusan yang akan kita ambil dalam situasi dilema etika ataupun bujukan moral yang membingungkan , ada 9 langkah yang dapat dilakukan, yaitu :

  1. Mengenali adanya nilai-nilai yang saling bertentangan.
  2. Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini.
  3. Mengumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi ini.
  4. Pengujian benar atau salah, meliputi uji benar/salah, uji regulasi, uji intuisi, uji publikasi dan uji panutan.
  5. Pengujian paradigma dilema etika.
  6. Melakukan prinsip resolusi.
  7. Investigasi opsi trilemma.
  8. Membuat keputusan.
  9. Melihat lagi keputusan dan merefleksikan.

Langkah-langkah pengambilan keputusan ini adalah panduan, bukan sebuah metode yang kaku dalam penerapannya. Pengambilan keputusan ini merupakan keterampilan yang harus diasah agar semakin baik. Semakin sering kita berlatih dalam menggunakannya, maka semakin terampil dalam pengambilan keputusan

Hal terpenting dalam pengambilan keputusan ini adalah sikap bertanggungjawab, didasari nilai-nilai kebajikan universal dan dalam konteks sekolah haruslah berpihak pada  murid.  Seorang guru harus mampu menjadi pemimpin pembelajaran yang berorientasi pada murid, dengan memperhatikan segala aspek yang mendukung tumbuh kembang murid. Segala keputusan yang diambil harus mengutamakan kepentingan perkembangan murid sebagai acuan utama.

Oleh : CGP SUHAILA ULFAH,S.Pd

Angkatan 3 Kabupaten Kampar

SMAN 1 Tapung Hilir